Tanah Korea merupakan hasil dari perjuangan rakyat Korea yang
mempertahankan negaranya dengan darah, keringat dan air mata. Jepang melakukan
beberapa hal kejam terutama kepada wanita Korea. Latar belakang sejarah,
nasionalis dan budaya yang kental di Korea, pada akhirnya melahirkan alasan
mengapa Korea Selatan membenci Jepang.
Asal-usul sikap anti-Jepang di Korea dapat ditelusuri kembali dari
serangan perompak Jepang dan juga dalam invasi Jepang ke Korea pada tahun
1592-1989. Sentimen dalam masyarakat sebagian besar dikaitkan dengan
pemerintahan Jepang di Korea dari tahun 1910-1945. Menurut Polling BBC World
Service yang dilakukan pada tahun 2014, 79% warga Korea Selatan melihat
pengaruh Jepang secara negatif, dan 15% mengungkapkan pandangan positif,
sehingga membuat Korea Selatan, menjadi negara kedua yang memiliki pandangan
paling negatif kepada Jepang di dunia.
Selama waktu invasi, Jepang menyerang dan memotong lebih dari 20.000
hidung dan telinga dari orang Korea dan membawa potongan tubuh tersebut kembali
ke Jepang dan membuat makam hidung sebagai piala perang. Setelah perang,
pengrajin Korea khususnya pengrajin tembikar diculik oleh perintah Hideyoshi
untuk menciptakan seni dan budaya Jepang. Para pengrajin Korea yang diculik
memainkan peran penting dan menjadi faktor utama dalam membangun jenis tembikar
baru seperti Satsuma, Arita, dan Hagi ware. Hal ini menyebabkan
ketegangan karena orang Korea merasa bahwa budaya mereka dicuri oleh Jepang.
Korea diduduki oleh Kekaisaran Jepang dari tahun 1910 hingga 1945.
Keterlibatan Jepang dimulai dengan Perjanjian 1876 di Ganghwa selama Dinasti
Joseon Korea dan meningkat selama beberapa dasawarsa berikutnya dengan Gapsin
Coup (1882). Pada Perjanjian Eulsa 1905, Jepang menghapus hak diplomatik
otonom Korea.
Pada tanggal 1 Maret 1919, protes anti-Jepang diadakan di seluruh negeri
untuk menuntut kemerdekaan. Sekitar 2 juta orang Korea aktif berpartisipasi
yang dikenal sebagai Gerakan 1 Maret. Jepang menekan gerakan kemerdekaan
tersebut menggunakan kekuatan militer. Dalam satu insiden, penduduk desa
digiring ke gereja lokal yang kemudian dibakar. Jumlah korban mencapai 7.500
orang tewas, sekitar 15.000 orang terluka, dan 45.000 orang ditangkap.
Korea juga menyatakan bahwa banyak wanita Korea yang telah diculik dan
dipaksa masuk ke dalam dunia prostitusi militer, yang disebut “wanita
penghibur” (μμλΆ, wianbu), oleh pemerintah
Jepang. Beberapa sejarawan Jepang, seperti Yoshiaki Yoshimi, menggunakan
buku harian dan kesaksian pejabat militer, beserta dokumen resmi dari Jepang
dalam menemukan fakta bahwa militer Kekaisaran Jepang secara langsung atau
tidak langsung telah terlibat dalam pemaksaan, penipuan, dan kadang-kadang
menculik wanita muda di seluruh negara koloninya yang berada di daerah Asia.
Sayangnya, buku sejarah di Jepang tidak pernah menjelaskan sama sekali
mengenai tindakan dan kejahatan penjajahan yang mereka lakukan selama ini.