Senin, 16 Juli 2018

Mengapa Sebagian Generasi Tua Korea Selatan Membenci Jepang? Asal Usul Gerakan Anti-Jepang di Negeri Ginseng

Tanah Korea merupakan hasil dari perjuangan rakyat Korea yang mempertahankan negaranya dengan darah, keringat dan air mata. Jepang melakukan beberapa hal kejam terutama kepada wanita Korea. Latar belakang sejarah, nasionalis dan budaya yang kental di Korea, pada akhirnya melahirkan alasan mengapa Korea Selatan membenci Jepang.
Asal-usul sikap anti-Jepang di Korea dapat ditelusuri kembali dari serangan perompak Jepang dan juga dalam invasi Jepang ke Korea pada tahun 1592-1989. Sentimen dalam masyarakat sebagian besar dikaitkan dengan pemerintahan Jepang di Korea dari tahun 1910-1945. Menurut Polling BBC World Service yang dilakukan pada tahun 2014, 79% warga Korea Selatan melihat pengaruh Jepang secara negatif, dan 15% mengungkapkan pandangan positif, sehingga membuat Korea Selatan, menjadi negara kedua yang memiliki pandangan paling negatif kepada Jepang di dunia.
Selama waktu invasi, Jepang menyerang dan memotong lebih dari 20.000 hidung dan telinga dari orang Korea dan membawa potongan tubuh tersebut kembali ke Jepang dan membuat makam hidung sebagai piala perang. Setelah perang, pengrajin Korea khususnya pengrajin tembikar diculik oleh perintah Hideyoshi untuk menciptakan seni dan budaya Jepang. Para pengrajin Korea yang diculik memainkan peran penting dan menjadi faktor utama dalam membangun jenis tembikar baru seperti Satsuma, Arita, dan Hagi ware. Hal ini menyebabkan ketegangan karena orang Korea merasa bahwa budaya mereka dicuri oleh Jepang.

Korea diduduki oleh Kekaisaran Jepang dari tahun 1910 hingga 1945. Keterlibatan Jepang dimulai dengan Perjanjian 1876 di Ganghwa selama Dinasti Joseon Korea dan meningkat selama beberapa dasawarsa berikutnya dengan Gapsin Coup (1882).  Pada Perjanjian Eulsa 1905, Jepang menghapus hak diplomatik otonom Korea.
Pada tanggal 1 Maret 1919, protes anti-Jepang diadakan di seluruh negeri untuk menuntut kemerdekaan. Sekitar 2 juta orang Korea aktif berpartisipasi yang dikenal sebagai Gerakan 1 Maret. Jepang menekan gerakan kemerdekaan  tersebut menggunakan kekuatan militer. Dalam satu insiden, penduduk desa digiring ke gereja lokal yang kemudian dibakar. Jumlah korban mencapai 7.500 orang tewas, sekitar 15.000 orang terluka, dan 45.000 orang ditangkap.
Korea juga menyatakan bahwa banyak wanita Korea yang telah diculik dan dipaksa masuk ke dalam dunia prostitusi militer, yang disebut “wanita penghibur” (μœ„μ•ˆλΆ€, wianbu), oleh pemerintah Jepang. Beberapa sejarawan Jepang, seperti Yoshiaki Yoshimi, menggunakan buku harian dan kesaksian pejabat militer, beserta dokumen resmi dari Jepang dalam menemukan fakta bahwa militer Kekaisaran Jepang secara langsung atau tidak langsung telah terlibat dalam pemaksaan, penipuan, dan kadang-kadang menculik wanita muda di seluruh negara koloninya yang berada di daerah Asia.
Sayangnya, buku sejarah di Jepang tidak pernah menjelaskan sama sekali mengenai tindakan dan kejahatan penjajahan yang mereka lakukan selama ini.

Senin, 09 Juli 2018

Nama Akihabara Manjadi Akiba!



Akihabara di Tokyo dikenal dengan popularitasnya sebagai distrik pop culture di Jepang. Distrik ini menawarkan berbagai hal yang bersangkutan dengan budaya modern Jepang seperti teater AKB48, maid cafe, hingga berbagai toko game serta elektronik. Tapi ternyata Akihabara tidak selalu berkaitan tentang otaku dan teknologi. Bahkan, jika kalian ingin menemukan asal-usul nama pendek Akihabara (sering disingkat menjadi Akiba oleh penduduk dan penggemar), maka kalian harus kembali lebih dari seratus tahun ke dalam sejarah Jepang.
Sebelum abad ke-20, Jepang memiliki masalah dengan kebakaran, terutama di ibukota Edo (nama Tokyo zaman dulu). Dengan semua bangunan yang terbuat dari kayu dan dibangun berdempetan bersama, tidak perlu waktu yang banyak untuk membuat semuanya terbakar habis.
Terdapat 14 “kebakaran hebat” yang terjadi dari tahun 1600 hingga 1855 di Edo yang menewaskan antara ribuan hingga ratusan ribu orang. Kebakaran sangat umum sehingga banyak orang yang mengatakan: “Kebakaran dan pertengkaran adalah bunga-bunga Edo.” Jadi akhirnya pada tahun 1869 pemerintah Meiji mendirikan sebuah area di Edo yang disebut “Chinkabara” (kini menjadi Akihabara) sebagai “area tahan api.”
Untuk meminta perlindungan dari para kami, mereka memindahkan Akiba Daigongen (dewa Buddha Jepang /dewa anti api) yang dari Enshu (sekarang disebut Shizuoka) untuk diabadikan di lokasi tersebut. Akiba Daigongen, dengan “Akiba” yang berarti “daun musim gugur,” eufemisme lain untuk api yang menjadi titik awal perubahan nama Akihabara.
Karena nama lokasi sebelumnya adalah “Chinkabara,” kuil yang didirikan untuk dewa itu awalnya disebut “Chinka Jinja” (Kuil Chinka). Tapi nama dewa yang berada di sana adalah “Akiba,” jadi semua orang menyebutnya “Akiba Jinja.” Akhirnya nama kuil berubah dari “Chinka” menjadi “Akiba,” dan orang-orang mulai menyebut area itu menjadi “Akiba”. Nama Akihabara sendiri merupakan nama gabungan dari Chinkabara dan Akiba yang pada akhirnya digunakan secara resmi sebagai nama daerah anti api tersebut.